PERLUKAH LAMPUNG MENETAPKAN STATUS LOCKDOWN?

  • 00:00 WIB
  • 31 March 2020
  • Super Administrator
  • Dilihat 3259 kali
PERLUKAH LAMPUNG MENETAPKAN STATUS LOCKDOWN?

PERLUKAH LAMPUNG MENETAPKAN STATUS LOCKDOWN?

oleh : Decky Ferdiansyah, S.Si, MSP, Apt

Staf Bidang Perencanaan Makro, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan

Bappeda Provinsi Lampung

 

Saat ini, tidak ada berita yang paling dinanti oleh masyarakat kecuali perkembangan kasus penanganan Virus Corona (COVID-19), baik yang terjadi di Indonesia maupun yang terjadi di negara lain. Terus meluasnya penyebaran kasus Covid-19 dari hari ke hari semakin membuat banyak pihak merasa khawatir, akankah ini menjadi akhir dunia?

Sampai dengan tanggal 30 Maret 2020 pukul 12.00 WIB, pemerintah pusat melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 telah mengumumkan secara nasional sebanyak 1.414 orang di 31 provinsi dinyatakan positif terinfeksi COVID-19, 75 orang dinyatakan sembuh dan 122 orang meninggal dunia. Untuk Provinsi Lampung, Gugus Tugas mengumumkan sampai dengan tanggal 30 Maret 2020 pukul 17.00 WIB sebanyak 8 orang dinyatakan positif terinfeksi, 10 orang ditetapkan sebagai Pasien Dalam Pengawasan, 10 orang sembuh, 800 orang dinyatakan sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan 1 orang meninggal dunia. Dengan peningkatan kasus ini secara besar-besaran, pemerintah masih terus memberikan himbauan agar setiap orang menerapkan physical distancing (pembatasan fisik), termasuk menerapkan pola bekerja, belajar dan beribadah di rumah.

 

Efektivitas Social/Physical Distancing

Sejak dikampanyekan gerakan social distancing (pembatasan sosial) dan kemudian berganti menjadi physical distancing (pembatasan fisik), termasuk kebijakan meliburkan aktivitas di sekolah dan kampus serta Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara dan beberapa instansi lainnya beberapa waktu yang lalu, penyebaran COVID-19 tidak menunjukkan pengurangan yang signifikan, bahkan cenderung bertambah dari hari ke hari. Masih banyaknya warga masyarakat yang belum menyadari betapa COVID-19 ini sangat berbahaya dan memiliki tingkat penyebaran yang tinggi sekali. Himbauan demi himbauan terus disampaikan melalui berbagai media. Bahkan di beberapa tempat, aparat gabungan TNI, Polri dan unsur pemerintah daerah melakukan patroli untuk merazia tempat-tempat yang menjadi sarana berkumpulnya warga baik itu warung, café, bahkan acara-acara keluarga seperti pesta pernikahan, arisan dan lain-lain. Dalam kondisi yang genting ini, seharusnya setiap orang mengikuti anjuran dan kampanye untuk tetap tinggal di rumah. Bahkan dalam hal beribadah sekalipun, otoritas-otoritas keagamaan telah menyerukan kepada umatnya agar melakukan ibadah di rumah masing-masing.

Namun masih banyaknya warga masyarakat yang belum mengikuti himbauan-himbauan tersebut semakin menandakan bahwa masyarakat kita belum memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk berdisiplin, terlebih lagi berempati atas keadaan yang ada. Disisilain, semakin bertambahnya kasus terinfeksi COVID-19 ini tentu membuat berbagai fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan semakin kewalahan. Bahkan di beberapa tempat, banyak tenaga kesehatan yang akhirnya terkena paparan virus mematikan tersebut. Mereka yang seharusnya berada di garda terdepan dalam merawat pasien, pada akhirnya berganti posisi menjadi pasien. Inilah yang sejak lama menjadi kekhawatiran WHO dan telah terbukti membuat negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan beberapa negara Eropa kewalahan dalam menangani penyebaran kasus COVID-19 yang telah memakan ribuan korban jiwa. Dan yang mengkhawatirkan, Indonesia dinilai memiliki kemiripan pola tersebut. Pertambahan jumlah kasus dari hari kehari semakin tidak berimbang dengan sarana dan ketenagaan kesehatan untuk mengatasinya. Belum lagi masih ditemukannya keterbatasan jumlah Alat Pelindung Diri (APD) bagi para tenaga kesehatan juga semakin membuat masalah ini menjadi semakin mengkhawatirkan.

Kondisi ini akhirnya menimbulkan pertanyaan sejauh mana efektivitas kampanye gerakan social/physical distancing dan Work From Home. Dengan demikian, pihak-pihak yang berwenang perlu menimbang apakah diperlukan penegakan hukum atas abainya sebagian masyarakat terhadap kampanye-kampanye tersebut. Penegakan hukum merupakan jalan terakhir dan upaya paksa (coercive power) bagi setiap orang untuk mematuhi suatu aturan. Dengan status bencana nasional seperti saat ini, upaya paksa dirasa perlu diterapkan. Belum lagi semakin bertambahnya ODP di Provinsi Lampung yang juga dipertanyakan sejauh mana ketaatan mereka dalam menjalani isolasi mandiri di rumah masing-masing. Menjalani isolasi selama 14 hari di rumah bukan hal yang mudah apalagi jika sebagian besar ODP tersebut merasa sehat dan tidak merasa timbul keluhan seperti demam dan batuk. Padahal dalam berbagai publikasi riset disebutkan bahwa 80% orang yang terinfeksi COVID-19 memang tidak akan timbul gejala dan keluhan, namun tetap memiliki peluang yang sangat besar dalam menyebarkan virus yang ada dalam tubuh mereka. Ketidak taatan dalam menjalani isolasi mandiri bagi orang yang berstatus ODP akan membuat penyebaran virus di Provinsi Lampung menjadi semakin tidak terkendali.

 

Opsi Karantina Wilayah

Semakin hari semakin banyak pihak menyerukan kepada pemerintah pusat agar menetapkan keputusan karantina wilayah atau poluler dengan istilah lockdown. Argumen-argumen dikemukakan oleh banyak pihak agar pemerintah sesegera mungkin menetapkan keputusan tersebut. Tujuannya tidak lain agar penyebaran COVID-19 tidak semakin meluas sehingga memberikan kesempatan bagi tenaga kesehatan untuk mengobati orang-orang yang positif terinfeksi. Jadi wacana yang berkembang bukan lagi kepada perlu atau tidaknya penetapan status karantina wilayah, namun sudah bergeser menjadi kapan waktu yang tepat bagi penetapan status tersebut. Bahkan beberapa kepala daerah seperti Walikota Tasikmalaya, Walikota Tega,l dan Walikota Jayapura, telah menetapkan status local lockdown bagi daerahnya. Dan akhirnya pada hari Senin tanggal 30 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan status darurat sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keputusan ini diambil agar kampanye physical distancing dapat dilakukan dengan skala sosial yang lebih luas, lebih tegas dan lebih disiplin.

Lalu bagaimana dengan opsi karantina wilayah? Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, karantina wilayah didefinisikan sebagai pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk pintu masuk  beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Dalam pasal lain disebutkan bahwa penetapan status karantina wilayah merupakan kewenangan pemerintah pusat. Konsekwensinya adalah bahwa selama penetapan status karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar setiap orang yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dengan ketentuan tersebut, pemerintah dihadapkan pada persoalan mengatasi penyebaran penyakit dan mengatasi dampak dari penetapan karantina wilayah. Terlebih bila wilayah yang dikarantina adalah DKI Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat perdagangan d iIndonesia. Penetapan status tersebut membuat pemerintah harus memastikan bahwa arus barang, terutama kebutuhan pokok harus tetap terjaga. Bukan hanya itu, kebutuhan dasar setiap warga negara harus dijamin oleh pemerintah pusat. Tentu itu semua memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Sejumlah pihak malah menyarankan agar pemerintah pusat mengalihkan anggaran yang dianggap tidak mendesak seperti pemindahan Ibukota Negara untuk digunakan dalam mengantisipasi dampak penetapan karantina wilayah. Pertimbangan kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan ekonomi semata. Atau dengan bahasa lainnya: humanity first,economy later.

Bagaimana dengan Provinsi Lampung? Sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang ada di daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung perlu mengantisipasi berbagai skenario yang mungkin terjadi, termasuk jika pemerintah pusat menetapkan karantina wilayah secara terbatas di DKI Jakarta. Bagaimanapun, wilayah Provinsi Lampung dan DKI Jakarta mempunyai keterkaitan yang cukup tinggi dalam hal arus barang, terutama kebutuhan bahan-bahan pokok. Apalagi Kementerian Pertanian RI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengakui Provinsi Lampung sebagai salah satu lumbung yang menyuplai kebutuhan logistik, ternak dan pakan tingkat nasional. Dengan status tersebut, Provinsi Lampung mempunyai peran yang sangat vital jika pada akhirnya pemerintah pusat menetapkan status karantina wilayah di DKI Jakarta.Tidak hanya antisipasi terhadap arus barang, Pemerintah Provinsi Lampung dengan dibantu oleh jajaran TNI dan Polri juga harus mengantisipasi tren dan kemungkinan eksodus warga DKI Jakarta yang akan masuk ke Provinsi lampung jika karantina wilayah segera ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Akhirnya, semua upaya yang dilakukan untuk mengatasi kasus COVID-19 ini tidak lain merupakan upaya seluruh anak bangsa untuk melindungi segenap banga Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebuah ungkapan menarik juga dikeluarkan oleh Akufo-Addo Presiden Ghana yang berkata “we know how tobring the economy back to life. What we do not know is how to bring people backto life”.