SOSIALISASI INTERNALISASI SPIP MELALUI MANAJEMEN RISIKO

  • 00:00 WIB
  • 19 April 2017
  • Super Administrator
  • Dilihat 6405 kali
SOSIALISASI INTERNALISASI SPIP MELALUI MANAJEMEN RISIKO

Setiap program yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi Lampung tidak terlepas dari adanya risiko yang dapat berpengaruh dalam pencapaian tujuan. Risiko yang dihadapi oleh Bappeda jika tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu, upaya implementasi manajemen risiko di lingkungan Bappeda perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yang secara garis besar menyatakan bahwa setiap instansi pemerintah diwajibkan untuk menerapkan SPIP. Salah satu unsur SPIP mengharuskan setiap instansi pemerintah untuk melakukan penilaian risiko (risk assessment) dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis risiko dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

 

Sehubungan dengan penerapan PP No.60/2008 tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberikan pembinaan tentang Internalisasi SPIP Melalui Penilaian Risiko kepada para pejabat di lingkup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi Lampung, Rabu, 19 April 2017.

Bimbingan Internalisasi SPIP Melalui Penilaian Risiko tersebut disampaikan oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Lampung, Sally Salamah dan Koordinator Pengawasan Bidang APD, John Z Nasaputra.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

SPIP mempunyai 4 tujuan yang ingin dicapai yaitu kegiatan efektif dan efisien, laporan keuangan dapat diandalkan sehingga mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Lampung, Sally Salamah dalam pemaparannya mengatakan bahwa pentingnya pimpinan dalam melakukan penilaian risiko dalam suatu program atau tujuan organisasi yang ingin dicapai, sehingga bisa dilakukan pengendalian agar risiko tersebut tidak terjadi. Untuk itu, Sally menghimbau kepada seluruh pimpinan Bappeda agar setiap pelaksanaan yang diselenggarakan oleh Bappeda untuk dilakukan identifikasi risikonya.

Setiap tindakan mengundang risiko, maka harus ada pengendalian risikonya. Pegawai harus sadar ada risiko dalam setiap kegiatan. Misalnya gini, Provinsi Lampung memiliki target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%. Dari level gubernur harus bisa mengidentifikasi risiko-risiko apa yang bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, salah satunya mingkin dari unsur pendapatan. Ketika pendapatan penduduk rendah maka pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, itu risiko pendapatan masyarakat terlalu rendah. Sebagai Gubernur, beliau akan melakukan aktivitas pengendaliannya. Tetapi barangkali pendokumentasian yang terstruktur dilakukan di Bappeda,” ujarnya.

 

Selanjutnya, John Z Nasaputra dalam pemaparannya mengatakan bahwa ada  banyak faktor yang menjadi sumber risiko. Bisa terjadi karena adanya faktor eksternal, misalnya peraturan perundang-undangan baru, daya beli masyarakat, perkembangan teknologi, bencana alam, dan lain-lain. Selain itu bisa juga dipengaruhi adanya faktor internal, misalnya keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang tidak kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan dan prosedur yang tidak jelas, dan lain-lain.