MENAKAR KEBERLANJUTAN BPJS KESEHATAN

  • 00:00 WIB
  • 19 March 2020
  • Super Administrator
  • Dilihat 3752 kali
MENAKAR KEBERLANJUTAN BPJS KESEHATAN

 MENAKAR KEBERLANJUTAN BPJS KESEHATAN

oleh : Decky Ferdiansyah

ASN pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung

                                                                                                                          

Sah, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. MA memutuskan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Akibatnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang telah berlaku sejak 1 Januari 2020 resmi dibatalkan. Menanggapi keputusan tersebut, Menkopol hukam Mahfud MD mengatakan bahwa keputusan MA bersifat final dan mengikat bagi seluruh pihak (Republika,10 Maret 2020).

 

Konsepdan Penerapan Jaminan Sosial

Konsep jaminan sosial memiliki definisi dan penerapan yang berbeda-beda di setiap negara akibat adanya dinamika sosial dan politik. Di Amerika Serikat, jaminan sosial menggambarkan sistem tunjangan tunai yang dijalankan oleh pemerintah melalui pendanaan yang berasal dari kontribusi pekerja dan majikan dengan angka yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Di Inggris, istilah yang dipakai adalah tunjangan kontribusi (contributory benefits). Hal ini merujuk pada skema pensiun yang diterapkan pemerintah dengan individu penerima manfaat yaitu pensiunan, orang tua, dan penyandang disabilitas. Menariknya, individu penerima manfaat jaminan sosial tersebut dapat melakukan klaim jika besaran manfaat yang diterimanya gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah. Pada prinsipnya, jaminan sosial ini merupakan penerapan konsep redistribusi pendapatan dari golongan masyarakat mampu untuk disalurkan kepada golongan yang lebih membutuhkan. Pada prinsip ini, negara berperan untuk menetapkan tunjangan kontribusi dalam bentuk pajak penghasilan untuk kemudian menyalurkannya dalam bentuk berbagai program sosial bagi masyarakat (Walker, 2005). Konsep jaminan sosial juga telah ditegaskan dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 102 Tahun 1952. Dalam konvensi tersebut, seluruh negara dianjurkan untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Walaupun titik berat konvensi tersebut adalah pada tenaga kerja, namun dalam perkembangannya banyak negara yang memperluas sistem jaminan sosialnya sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga negaranya.

Salah satu bentuk jaminan sosial adalah program jaminan kesehatan. Di negara-negara Eropa, program jaminan kesehatan muncul sejak abad ke-19 sebagai respon atas kekhawatiran akan munculnya revolusi dan perubahan cara pandang terhadap fungsi negara. Maka penerapannya lebih kepada upaya untuk meredam tekanan publik yang dilakukan oleh serikat-serikat pekerja kepada negara. Di Rusia, Kuba, Venezuela, dan Iran, yang umumnya menganut ideologi sosialis, program jaminan kesehatan menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh penduduk dalam bentuk pelayanan kesehatan dasar. Negara-negara tersebut tidak membentuk badan khusus untuk melaksanakan program jaminan kesehatan, namun dilaksanakan melalui lembaga negara seperti Kementerian Kesehatan. Pendanaannya sepenuhnya diberikan oleh negara yang dikelola dari uang pajak. Adapun negara-negara yang menganut ideologi liberal ada yang membentuk badan khusus dan ada yang tidak. Pendanaan terhadap program jaminan kesehatan tidak sepenuhnya ditanggung oleh negara, namun dilakukan dengan sistem cost-sharing antara negara dan warganegaranya, baik melalui pemotongan gaji bagi kaum pekerja, maupun pembayaran premi bulanan bagi penduduk yang bukan merupakan penerima upah. Melalui skemaini, serikat pekerja memiliki posisi tawar yang cukup kuat terhadap pengelolaan program jaminan kesehatan yang dilaksanakan oleh negara.

 

Program Jaminan Kesehatan Nasional

Di Indonesia,jaminan sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Untuk melaksanakan program jaminan sosial, dibentuk BPJS Kesehatan yang melaksanakan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS Ketenagakerjaan yang melaksanakan programjaminan kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.

Program JKN merupakan program untuk memperoleh manfaat perlindungan dan pemeliharaan kesehatan bagi para pesertanya. Program ini diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran secara mandiri atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Pelaksanaan Program JKN oleh BPJS Kesehatan sejak tahun 2014 sampai dengan saat ini menemui banyak kendala. Setiap tahunnya, BPJS Kesehatan selalu mencatat defisit keuangan yang pada akhirnya ditutup oleh pemerintah menggunakan dana APBN. Menurut pihak BPJS Kesehatan, perilaku peserta mandiri yang enggan membayar iuran setelah sakit adalah salah satu penyebab BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan. Benarkah demikian? Menurut Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, angka utilitas peserta mandiri mencapai 11 persen untuk rawat inap dan 86 persen untuk rawat jalan. Sedangkan angka utilitas peserta penerima bantuan iuran hanya 2 persen untuk rawat inap dan 11 persen untuk rawat jalan. Angka tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan oleh peserta mandiri sangat tinggi, namun ketika sudah sembuh sebagian besar peserta tidak melanjutkan pembayaran iuran bulanan. Inilah yang memicu terjadinya defisit yang cukup besar. Selain itu, masih belum akuratnya data peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang dimiliki pemerintah juga menjadi faktor lain yang memicu defisit keuangan BPJS Kesehatan.

 

Ancaman Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional

Pasca keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka perlu dicermati dampaknya terhadap keberlanjutan Program JKN. Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengeluarkan pernyataan akan menarik kembali dana talangan APBN bagi peserta PBI. Hal ini perlu dilakukan agar tidak menjadi catatan saat audit laporan keuangan pemerintah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Salah satu langkah yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menaikkan porsi pemanfaaatan dana cukai tembakau bagi sektor kesehatan. Dalam aturan yang ada, pemerintah menetapkan sebesar 50 % dari pemanfaatan dana cukai tembakau akan digunakan untuk mengatasi masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan. Namun dengan keputusan MA tersebut, pemerintah harus merevisi aturan sehingga porsi dana talangan bagi masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan harus diperbesar. Di sisi lain, perbaikan tata kelola dan manajemen internal BPJS Kesehatan juga harus terus dilakukan, seperti mengurangi potensi fraud, termasuk tingginya tunjangan tahunan direksi BPJS Kesehatan yang sempat memicu kontroversi di masyarakat. Berbagai langkah harus dilakukan demi keberlanjutan Program JKN.

Dalam kondisi seperti ini, penting bagi pemerintah untuk kembali merenungkan bahwa mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya merupakan amanat bernegara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita besar ini tidak dapat dilepaskan dari aspek penyediaan layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. Jangan sampai layanan kesehatan dinegara ini kembali kepada model “out of pocket bagi yang ingin mendapatkan layanan kesehatan. Model ini telah terbukti menyebabkan layanan kesehatan menjadi barang yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh masyarakat mampu. Terakhir, ada yang menarik dari pernyataan Steve Forbes, CEO Majalah Forbes yang pernah berkata “the realcure for what ails our health care system today is less government and morefreedomyang artinya solusi nyata dari buruknya sistem pelayanan kesehatan kita adalah semakin rendahnya peran pemerintah dan semakin tingginya kebebasan. Semoga hal tersebut tidak terjadi di Indonesia.